Senin, 06 Desember 2010

Khusyu' Dalam Sholat



Secara Lughah (Etimologi), khusyu' berarti rendah diri atau mendekati rendah diri. Menurut pengertian ini, khusyu' itu terdapat pada suara, penglihatan, ketenangan dan kerendahdirian. Sedangkan pengertian khusyu' menurut syara' (terminologi) adalah rendah diri. Rendah diri ini kadang-kadang berada dalam hati dan kadang-kadang berasal dari anggota tubuh seperti diam.
Adapun dalil yang menguatkan bahwa khusyu' itu pekerjaan hati adalah hadis Ali ra, "Khusyu' itu berada dalam hati" (HR. al-Hakim), hadis: "Sekiranya sanubari hati orang ini khusyu, niscaya anggota tubuhnya menjadi khusyu", dan hadis do'a mohon perlindungan: "....dan aku mohon perlindungan kepada-Mu dari sanubari hati yang tidak khusyu."
Apakah khusyu' dalam salat itu wajib?
Dalam masalah ini, ulama berbeda pendapat. Menurut al-Ghozali khusyu' itu wajib. Beliau menguraikan argumentasinya secara panjang lebar -untuk menguatkan pendapatnya- dalam kitab 'Ihyaa' Ulumuddin'. Akan tetapi, menurut Jumhur Ulama', khusyu' itu tidak wajib. Bahkan, Imam an-Nawawi mengklaim adanya Ijma' yang tidak mewajibkan khusyu'.
Hadis-Hadis yang Menganjurkan Seseorang agar Berlaku Khusyu' dalam Salatnya
1.Dari Abu Hurairah ra berkata, "Rasulullah saw melarang seseorang meletakkan tangannya pada lambungnya" (HR. al-Bukhari dan Muslim, sedangkan redaksi (lafal) hadis berasal dari Imam Muslim (wallafdzu li Muslimin).
Maksud dari larangan hadis tersebut adalah hendaknya seseorang tidak meletakkan tangan, baik yang kiri maupun yang kanan, pada lambungnya ketika dia sedang melakukan salat, sebagaimana penjelasan yang disampaikan oleh Imam Ibnu Hajar al-Asqalani terhadap hadis tersebut.
Kemudian, apa hikmah dari larangan itu? Maka dalam hal ini Rasulullah saw menjelaskannya dalam hadis yang diriwayatkan Aisyah ra, "Bahwa hal itu adalah pekerjaan orang Yahudi dalam salat mereka" (HR. al-Bukhari). Sebab, umat Islam itu dilarang keras untuk menyerupai orang-orang Yahudi dalam semua gerak-gerik mereka.
2.Dari Anas ra bahwa Rasulullah saw bersabda, "Apabila hidangan makan malam telah disiapkan, maka mulailah menyantap makanan itu sebelum anda salat Maghrib" (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadis tersebut menurut Jumhur Ulama' menunjukkan sunnahnya mendahulukan makan malam atas salat. Karena, hal itu akan bisa mengarahkan seseorang berkonsentrasi dalam salatnya. Bahkan, menurut ulama yang lain, agar sanubari hati itu tidak tergoda dengan makanan yang sudah tersediakan tersebut.
Di samping itu, ada beberapa atsar sahabat yang menjelaskan tentang ta'lil (sebab-musabab) dilarangnya mendahulukan salat ketika makanan sudah dihidangkan. Di antaranya adalah atsar yang dikeluarkan oleh Ibnu Abu Syaibah dari Abu Hurairah dan Ibnu Abbas, "Bahwa keduanya pernah sedang makan, sementara didapur api (kompor)nya masih terdapat daging yang sedang dibakar, lalu sahabat yang melakukan adzan tersebut ingin melakukan iqamah untuk salat, tiba-tiba Ibnu Abbas berkata kepadanya: 'Jangan terburu-buru', kita tidak melakukan salat selama dalam hati kita masih ingat sesuatu (makanan)." Dalam riwayat yang lain disebutkan: "Supaya (makanan itu) tidak memalingkan perhatian kita dalam salat." Disebutkan pula dari Hasan bin Ali as bahwa dia berkata, "Makan malam sebelum salat itu bisa menghilangkan (meredam) jiwa yang suka mencela (an-Nafs al-Lawwaamah)." (HR. Ibnu Abu Syaibah)
Jika waktu salat tinggal sedikit, apakah disunnahkan pula mendahulukan makan atas salat?
Kesunnahan seperti itu dilakukan apabila waktu salat masing panjang. Namun, jika waktu salat tinggal sedikit, maka menurut Jumhur Ulama', dia mendahulukan salat atas makan. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga waktu salat agar tidak lewat.
Kandungan Hadis
Dari hadis no. 2 di atas, bisa ditarik kesimpulan sebagai berikut:
a. Hadirnya makanan seperti itu bisa menjadi uzur untuk meninggalkan salat jama'ah. Telah diriwayatkan dari Ibnu Umar, bahwa apabila hidangan makan malamnya telah disiapkan dan dia mendengar bacaan Imam dalam salat, maka dia tidak berdiri (untuk melakukan salat) sampai dia selesai makan.
b. Hal-hal selain makanan bisa dianalogikan (diqiyaskan) dengan makanan selama mempunyai ilat (sebab) yang sama yaitu apabila dia mengakhirkan melakukan sesuatu itu, hatinya menjadi terganggu ketika salat. Maka, sebaiknya melakukan sesuatu itu sebelum salat.
Dan di sini yang perlu diperhatikan betul adalah bahwa sesuatu itu telah diperbolehkan secara tegas bahkan dianjurkan oleh Syara' (Allah dan Rasul-Nya). Akan tetapi, apabila sesuatu itu tidak dianjurkan oleh Syara', maka mendahulukan salat lebih baik daripada melakukan atau melanjutkan sesuatu itu. Contohnya adalah menonton sinetron, berbincang-bincang dengan kawan atau kerabatnya. Karena itu, mendahulukan salat lebih baik daripada menonton sinetron atau mengobrol lebih dahulu dengan kawan atau kerabatnya, baik waktu salat tinggal sedikit atau masih panjang.
3.Dari Aisyah ra berkata, "saya bertanya kepada Rasulullah saw tentang menoleh dalam salat?" Kemudian Rasul saw menjawab: "Menoleh itu adalah suatu keteledoran seseorang akibat ulah syetan dalam salat seorang hamba" (HR. al-Bukhari)
Menurut riwayat at-Tirmidzi dan menshahihkannya: "Janganlah anda menoleh dalam salat, karena itu adalah kebinasaan (dalam agama). Apabila anda harus melakukannya, maka lakukanlah dalam salat sunnah"
Seseorang yang sedang melakukan salat, dimakruhkan menoleh ke kanan dan ke kiri. Karena pada dasarnya, dia sedang menghadap Tuhannya. Sementara itu, syetan selalu mengintip dan mencari-cari kelengahan orang itu. Jika seseorang dalam salatnya menoleh ke kiri dan ke kanan, berarti dia telah masuk perangkap syetan.
Menurut Jumhur Ulama', menoleh itu dimakruhkan, karena bisa mengurangi khusyu' salat. Namun, apabila menolehnya itu sampai memalingkan dadanya atau seluruh lehernya dari kiblat, maka hal itu bukan lagi makruh, melainkan bisa membatalkan salat. Hal ini berdasarkan pada hadis Abu Dzar, "Allah SWT selalu menghadap kepada seorang hamba dalam salatnya, selama dia tidak menoleh, apabila dia memalingkan wajahnya, maka Allah pun 'pergi' ." (HR. Abu Dawud dan an-Nasa'i)
4. Seseorang yang sedang salat hendaknya tidak meludah. Jika terpaksa meludah, maka jangan meludah di depannya atau di samping kanannya, akan tetapi hendaknya meludah di samping kirinya. Hal itu sesuai dengan hadis yang diriwayatkan oleh Anas ra di bawah ini.
Dari Anas ra berkata, Rasulullah saw bersabda, "Jika salah seorang di antara kalian berada dalam salat, maka sesungguhnya dia sedang bermunajat (berkonsultasi) dengan Tuhannya. Oleh karena itu, janganlah dia benar-benar meludah di depannya atau di samping kanannya. Akan tetapi, (hendaknya meludah) di samping kirinya di bawah kakinya." (HR Bukhari).
Berdasarkan hadis tersebut dapat dipahami bahwa meludah ke arah kiblat (di depan orang yang salat) dan ke samping kanan pada waktu salat itu dilarang. Namun, ada beberapa hadis yang menegaskan bahwa larangan tersebut bukan hanya pada waktu salat. Akan tetapi, larangan tersebut mutlak, baik pada waktu salat maupun di luar waktu salat. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh sahabat Abu Hurairah dan Abu Sa'id ra, bahwa Rasulullah saw melihat dahak yang lengket di dinding masjid, lalu Rasulullah saw mengambil kerikil kemudian menggosok-gosoknya seraya bersabda, "Apabila salah seorang di antara kalian berdahak, maka janganlah berdahak di depan wajahnya atau di samping kanannya, akan tetapi, berdahaklah di samping kirinya atau di bawah kakinya yang kiri." (HR Bukhari dan Muslim).
Bahkan, tegas Imam an-Nawawi, larangan tersebut bukan hanya di dalam salat, tetapi juga di luar salat dan bukan hanya di dalam masjid, tapi juga di luar masjid. Pendapat Imam an-Nawawi ini di dukung oleh berbagai hadis, di antaranya:

Dari Hudzaifah ra, Rasulullah saw bersabda, "Barangsiapa meludah di arah Qiblat, maka dia datang pada hari kiamat sedangkan ludahnya berada di antara kedua matanya." (HR Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban).
Dari Ibnu Umar ra, Rasulullah saw bersabda, "Orang yang berdahak (meludah di arah Qiblat) akan dibangkitkan oleh Allah SWT pada hari kiamat sedangkan dahak (ludah)nya berada pada wajahnya." (HR Ibnu Khuzaimah).
Dari as-Saaib bin Khallad, seseorang salat menjadi imam bagi sekelompok orang (kaum) lalu dia meludah ke arah kiblat, manakala dia selesai melakukan salat Rasulullah saw bersabda, "Tidaklah (pantas) dia salat (menjadi imam) bagi kamu." (HR Abu Daud dan Ibnu Hibban).
Hikmah Dilarangnya Meludah ke Arah Qiblat dan di Sebelah Kanan
Setiap perintah dan larangan yang diperintahkan dan dilarang oleh Syara' untuk kita, hampir bisa dipastikan bahwa di balik perintah atau larangan itu terdapat hikmah yang terkandung. Hikmah-hikmah tersebut ada yang bisa dilihat, dirasio, dan ada yang bisa dirasakan langsung oleh manusia. Tetapi, ada juga yang tidak bisa dirasio, tidak bisa dilihat, apalagi dirasakan manusia sekarang ini. Karena, ia termasuk bagian dari hikmah yang tidak bisa dirasio (Ghairu Ma'qulatil Ma'na). Hikmah-hikmah yang semacam ini biasanya terdapat pada masalah Ibadah Mahdhah. Adapun hikmah-hikmah yang bisa dirasio dan dilihat (Ma'qulatil Ma'na), maka biasanya hal ini terdapat pada masalah Mu'amalat (ibadah ghairu mahdhah).
Masalah meludah ke arah kiblat dan di sebelah kanan, termasuk masalah Ibadah. Karenanya, tidak bisa ditebak begitu saja mengenai hikmah yang terkandung di dalamnya. Meski demikian, para ulama tetap mencoba berusaha mencari hikmah dengan berdalih beberapa atsar sahabat yang sampai kepada mereka. Di antara atsar-atsar tersebut adalah sebagai berikut:

Atsar yang dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari Hudzaifah, "?dan tidak pula meludah di samping kanannya, karena, malaikat pencatat amal kebaikan berada di samping kanannya."
Atsar yang dikeluarkan oleh at-Thabarani dari Umamah, "Karena dia berdiri di hadapan Allah, sedangkan malaikat berada di samping kanannya dan qarinnya (syetan) berada disamping kirinya."
Jadi, apabila atsar-atsar tersebut tsabit (betul-betul disampaikan oleh para sahabat tersebut), maka meludah ke arah sebelah kiri akan mengenai syetan. Sedangkan malaikat yang berada di samping kirinya tidak akan terkena ludah tersebut atau dia pindah ke sebelah kanan pada waktu seseorang sedang salat. Wallahu a'lamu.
5. Hendaknya menjauhkan hal-hal yang bisa mengganggu salatnya, seperti kain-kain yang bergambar, suara-suara radio atau TV yang bisa mengaburkan konsentrasinya. Hal itu sesuai dengan hadis yang diriwayatkan Anas ra.
Dari Anas ra berkata, Aisyah ra mempunyai kain satir (penghalang) tipis yang digunakan menutup sebelah rumahnya, lalu Nabi saw bersabda kepadanya, "Jauhkan kain satirmu ini dari aku, karena gambar-gambarnya selalu menghalang-halangiku dalam salatku." (HR Bukhari).
6. Hendaknya tidak melihat ke atas ketika salat.
Dari Jabir bin Samurah ra berkata, Rasulullah saw bersabda, "Sungguh akan habis (binasa) orang-orang yang melihat ke atas ketika salat atau penglihatan-penglihatan mereka tidak akan kembali kepada mereka." (HR Muslim).
Menurut Imam an-Nawawi dalam 'Syarah Muslim' bahwa hadis tersebut mengandung larangan keras dan ancaman keras bagi orang yang melihat ke atas ketika salat dan larangan tersebut menunjukkan haram. Bahkan, Imam Ibnu Hazm mengatakan, batal salatnya orang yang melakukan hal itu.
7. Menjauhkan makanan dari tempat salat dan tidak sedang menahan buang air kecil dan buang air besar.
Dari Aisyah ra berkata, aku mendengar Rasulullah saw bersabda, "Tidak ada salat (itu sempurna) jika dilakukan di hadapan makanan dan tidak pula sempurna jika dilakukan ketika sedang menahan buang air besar dan air kecil." (HR Muslim)
Namun, apabila dia khawatir akan lewatnya waktu salat jika harus mendahulukan buang air besar atau buang air kecil atas melakukan salat, maka dia harus mendahulukan salat, dan salatnya tetap sah, tetapi makruh. Wallahu a'lamu.
8. Hindarilah menguap dalam salat. Jika terpaksa melakukanya, maka tahanlah sedemikian rupa dengan menutupkan telapak tangan ke dalam mulut.
Dari Abu Hurairah ra bahwa Nabi saw bersabda, "Menguap itu termasuk perbuatan syetan, apabila salah seorang di antara kalian melakukannya, hendaknya dia menahannya sedemikian rupa sesuai dengan kemampuan." (HR Muslim dan Tirmidzi seraya menambahkan: 'pada waktu salat')
"Apabila salah seorang di antara kalian menguap, hendaknya dia meletakkan tangannya pada mulutnya, karena syetan akan masuk bersamaan dengan menguap." (HR Bukhari, Muslim, Ahmad, dan yang lain).
Menguap dikatakan termasuk perbuatan syetan, karena dia keluar akibat kekenyangan atau kemalasan, dan kedua perbuatan ini termasuk hal-hal yang disukai syetan. Wallahu a'lamu.
Sumber: Subulus Salaam, Muhammad bin Ismail as-Shan'ani
Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia

0 komentar:

Posting Komentar

Assalamu alaikum wr wb, Selamat datang dan Terima kasih atas kunjungannya di blog MUSLIM SUPER SUKSES, Selalu semangat, Jadi Muslim Sejati, Blog ini mengajak Mari saling berbagi ilmu, motivasi, saling nasihat-menasihatisampaikan dakwah-dakwah saudara-saudaraku yang ingin ilmu nya jadi ladang amal hingga diakirat kelakkirim ke contact_to_me@yahoo.comlink mehttp://suksesdandahsyat.blogspot.comwassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites